Mengkritisi Kitab Sulam Nayirain.

Sehubungan dengan kontroversi Hari idul fitri 1432 H beberapa waktu yang lalu, saya sempat beberapa kali berdialog dengan teman yang berbeda, yang melibatkan kitab Sulam Nayirain.Dari dialog tersebut, ada beberapa versi tanggapan pemerhati ilmu hisab terhadap system hisab tradisional ini yang dapat saya tangkap, antara lain :

  1. Masih meyakini akurasi kitab ini sebanding dengan dengan buku/kitab yang lainnya.
  2. Meragukan akurasinya, sehingga Buku ini hanya dipakai untuk menghitung saat ijtima’ saja, tetapi tidak lagi dipakai untuk menghitung irtifa’ hilal, muktsuhu dll
  3. Ada yg membuat interpretasi sendiri tentang haddurrukyah, yg lebih sering diistilahkan batas imkanurrukyah. Kelompok ini berpendapat bahwa 6 derajat sebagai batas imkanurrukyah, dalam arti maksimal, diatas itu bukan lagi imkan, tetapi pasti dapat dirukyah. Yang mumkin dapat dirukyah adalah antara 2 s/d 6 derajat. Dibawah dua derajat mustahil. Ini berbeda dengan yang selama ini saya pahami, bahwa hadul imkan itu berarti batas minimal, sedang dibawahnya adalah ghairul imkan/mustahil.

Dari hal hal tersebut, saya yang sudah sekian lama tidak melihat isi kitab itu, kecuali kadang2 hanya mencoba menghitung dengan system itu, ingin membuka buka kembali kitab itu lagi, dan saya coba mengkritisi kitab tersebut, agar tidak dibuang begitu saja karena dinilai ketinggalan, tetapi dikritisi untuk direvisi seberapa dapat.

Adapun yang ingin saya kritisi adalah hal hal sebagai beikut :

  1. Muallif/pengarang kitab itu  sendiri Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhamad Damiri Al Batawi (walau nama sama tetapi saya tidak ada hubungan genetic dengan beliau) meminta, agar dapat melakukan update data (terutama al‘alamah almu’addalah) dengan memperbandingkan hasil perhitungan dengan kenyataan waktu terjadinya kusyuf (gerhana matahari). Alasannya data/table data  dari Ulugh Bek adalah data yg sudah cukup lama, sedangkan alam senantiasa berubah. Pernyataan ini saya temukan dibagian  “Tanbih” (peringatan) pada bagian akhir dari jilid ketiga kitab Sulam Nayirain. Sepanjang yang saya tahu, data yang saya dapat dari mencontoh  kitab guru saya sekitar tahun 1970 , dan beliau juga mencontoh dari gurunya sebelum tahun 1950 an (saya gak tahu tahun berapa beliau belajar kitab tersebut ) masih tetap sama  dengan table yang saya peroleh sekitar tah 1990 dalam buku cetak baru yang  disampulnya nisbah kepada pengarang buku itu dengan kata al Jakartawi ( bukan lagi Al Batawi). Ini Berarti selama kurun waktu itu memang belum pernah ada updating data. Disini saya hanya ingin mengkritisi pernyataan Muallif, yang mengatakan bahwa yang perlu diupdate adalah table  Al ‘Alamah Mu’addalah. Menurut saya  justru bukan table al alamah saja tetapi  bahkan data lainnya yang bisa berselisih  jauh akibat adanya berbagai pembulatan disana sini.
  1. Pengertian Irtifa’ hilal.Irtifa diartikan dengan Bu’duhu yakni Bu’dulqamar minal ardl waqtal ghurub..Pengertian ini sudah tepat karena dapat diartikan jarak antara bulan dengan ufuk, tetapi cara menghitungnya dengan menghitung berapa lama jarak waktu antara saat ijtima’dengan ghurub lalu dibagi dua. ( Yang dengan bahasa yg populer bagi para ahli hisab saat ini adalah umur bulan dibagi dua) adalah tidak tepat. Umur bulan dibagi dua adalah perhitungan kasar atas jarak antara matahari dan bulan , atau berapa jauh matahari telah “meninggalkan”(atau ditinggalkan) bulan, dimana sebelumnya mereka sejajar (posisi ijtima’). Adalah tidak sama antara  Jarak bulan sampai bumi(ufuk) saat matahari terbenan, dengan jarak antara matahari dan bulan saat matahari terbenam, karena jarak terdekat antara bulan dan bumi adalah sepanjang lingkaran fertikal,sedang jarak antara matahari dan bulan tidak selalu berada pada lingkaran vertikal yg sama, Apa yang selama ini dikatakan sebagai irtifa hilal dalam kitab Sulam Nayirain, sebenarnya adalah al bu’du bainan nayirain.,jarak antara matahari dan bulan (sepanjang ekliptilka)bukan jarak antara bulan dengan ufuk.. Saya sering mencoba memperbandingkan antara irtifa menurut system  Sulam Nayirain, selalu lebih besar dari irtifa dengan system lain tetapi selalu hampir sama dengan jarak matahari dan bulan  (selisih asesiorekta matahari dan bulan)
  1. Pemindahan saat ijtima dari Betawi ke kota lain tempat seseorang melakukan penghitungan. Disana disebutkan bahwa kalau akan mengetahui saat ijtima di kota lain caranya  adalah dengan menambah  atau mengurangi al alamah muaddalah yang ada dgn fadluthulain. Fadluththulain adalah selisih bujur antara dua buah kota, yaitu antara kota yang dilakukan penghitungan dengan kota Jakarta (Betawi). Menurut saya ini hanya tepat kalau penghitungan saat ijtima dengan waktu zawali, penghitungan jam dengan acuan saat matahari berada dititik kulminasi (atas atau bawah ), sebagaimana jam yg berlaku didunia internasional. Padahal jam yang dipergunakan dalam Sulam in adalah waktu hakiki ghurbi. Jadi tepatnya koreksinya bukan dengan fadlu thulain (Selisih bujur dua kota ) tetapi fadhlu mahgribay baladain, selisih waktu ghurub dua kota. Kita tahu, bahwa antara dua kota selisih zawalusyamsi/wktu kulminasi hanya ditentukan oleh perbedaan bujur saja, tetapi ghurub syamsi, di pengaruhi juga oleh perbedaan lintang tempat dan deklinasi matahari pada waktu itu. Akibat dari kekeliruan ini kalau nanti sama sama di pindahkan ke WIB misalnya, hasil hisab di Jakarta dan di Yogya  akan lain. Padahal untuk kasus Ijtima tidak bisa begitu. Saya menduga bahwa kekeliruan ini terjadi sejak awal, yaitu sejak Mualif mentransfer data kota Samarkand, ke Betawi. Kekeliran dahulu bisa terjadi pada salah satu  dari dua kemungkinan.
    1. Ulugh bek aslinya menghitungnya dengan standar jam zawali tetapi oleh Mualif Sulam Nayirain di ubah begitu saja menjadi jam ghurbi
    2. Atau Ulugh Bek sudah mendasarkan pada waktu ghurby, tetapi Mualif Sulam Nayirain yg lalai dengan hanya menambah dengan fadhlu thulain untuk menjadi  waktu Betawi. Beliau mengabaikan faktor lintang tempat dan deklinasi matahari.

Tentang beda antara fadhluthulain dan fadhlu maghribay baladain bisa kita buktikan misalnya antara Yogya dan Jakarta (Betawi) walau selisih bujurnya tetap yaitu bujur Yogyakarta 110º22’ – bujur Jakarta 106º49’ , selisihnya  3º33’ atau 14 menit 12 detik, tetapi selisih waktu magribnya ditanggal 22 Juni tidak sama dengan tanggal 22 Desesmber. Tanggal 22 Desember maghrib di Jakarta 18;08 WIB  sedang Yogyakarta 17;57, selisihnya11 menit, sedang tgl 22 Juni Jakarta 17 50   yogya 17 33, selisihnya 17 menit. Padahal  antara lintang Yogyakarta dan lintang Jakarta hanya selisih 7º48’ – 6º10’ = Selisihnya 1º38’. Dapat dibayangkan kalau kekeliruan ini terjadi ketika memindahkan dari waktu Samarkand dengan  Betawi/ Jakarta. Saya sebenarnya ingin mencoba merekonstruksikan kembali tabel tabel pada Kitab sulam,  setelah mengetahui posisi geografis Samarkand, atau mungkin sudah ada peneliti, ahli falak yang sudah melakukannya. Mungkin dengan rekonstruksi berdasar hal tersebut hasil perhitungan Ijtima dengan Sulam Nayirain dan dengan systim lain yang lebih modern tidak lagi terpaut terlalu besar. Sayangnya sampai sekarang saya tidak tahu secara tepat posisi geografis , lintang dan bujur kota Samarkand  dan dulu mengenal nama itu hanya pada Nama Tokoh Wali sanga yang bernama Ibrahim Asmoro dan nama kitab ’Aqoid yang di Somalangu kampung saya dikenal dengan nama kitab Semarkandi. Tulisan saya ini dibuat dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Pengarang Kitab Sulam Nayirain. Semoga ada teman yang mau membantu saya.

Wallahu a’lam.

Purwokerto, 11 September 2011.

Manshur Mu’thy A Kafy

Pos ini dipublikasikan di Falak. Tandai permalink.

17 Balasan ke Mengkritisi Kitab Sulam Nayirain.

  1. H.Buang Yusuf berkata:

    ass. pak kiai sebelumnya atas nama kel saya ucapkan minal aidhin walfaizin mhn maaf lhr dan bathn, membaca tulisan pak kiai, kebetulan habis lebaran di kampung kelahiran saya diadakan halal bi halal sekalian reuni Alumni Yayasan Alkhairiyyah di Kp.Kresek Kd.Gede Kab Tangerang kbetulan KH.Maruf Amin trmasuk salah satu alumninya bliau memberikan tausiyah, sebelum tausiyah ada salah satu kiai pimp yayasan tersebut mananyakan soal lebaran versi selasa dan rabu, jawab pak kiai maruf yg menggunakan dasar kitab sulam munariyyin itu meskinya membaca kritikan tulisan saya trhdp kitab tersebut, ketika saya jadi khatib NU, begitu pak Mansur, kayanya perlu di cari tulisan beliau , mungkin ada kesamaan dg tulisan pak kiai, wss Ahakir Ahina H. Buang Yusuf/MA

  2. Joe Pai berkata:

    saya tertarik sekali pak dengan tulisan ini…
    pelajaran falak menurut saya masih berkutat dengan itu-itu saja, masalah qiblat, waktu sholat, hisab awal bulan, hisab gerhana baik matahari maupun bulan. kadang malah termasuk materi adalah cara menjalan kalkulator dan sebagainya.
    namun memang sangat kurang mengenai perhatian tentang yang lebih mendasar untuk pengembangan ilmu itu sendiri, termasuk salah satunya updating data kitab-kitab pegangan.
    satu sisi kitab-kitab tersebut adalah pninggalan ilmu yang sangat mahal, namun kalo tidak dikaji secara mendalam kitab-kitab tersebut (kita istilahkan saja secara manhaji) sehingga kita bisa mengetahui bagaimana data-data dalam kitab tersebut dahulu disusun, sepertinya la-lama kelamaan juga hanya menjadi benda musium, lain halnya jika kemudian dikaji secara manhaji tadi sehingga kitab tersebut bisa dikembangkan dan tidak sekedar disalin ulang, saya termasuk merindukan hal tersebut, sehingga pelajaran falak tidak hanya itu-itu saja namun mungkin juga semacam dekonstruksi kemudian rekonstruksi data-data kitab pegangan tersebut, sehingga ada semacam penelitian dan pengamatan yang terus berlangsung dari kalangan yang masih berpegang dengan kitab-kitab semacam sullamun nayyiroin, fathu roufil manan atau yang sekelas, maupun seperti badiatul mitsal, khulasotul wafiyah, matlaus said dan sebaginya, sehingga pelajarn ilmu falak tidak stagnan namun menjadi dinamis. wallohu a’lam

  3. Nailul berkata:

    Ass.pak kiai.klo boleh tahu bagaimana caranya mengupdate data dari kitab2 semacam sulam nayyiroin, fathur rouf mannan dll.

  4. Manshur Alkaf berkata:

    Pak Nailul,terima kasih atas perhatiannya. Saya belum tahu pasti, tapi baru punya dugaan, kalau cara Sulam memindahkan hasil hitungan dari Jakarta kekota lain hanya dengan memperhatikan selisih bujur antara bujur Jakarta dan bujur kota dimaksud. (bukan selisih magrib dua kota tersebut) tanpa memperhatikan lintang masing masing, padahal lintang2 tersebut berpengaruh pada waktu magrib sebuah kota, maka jangan2 dulu penulis kitab sulam waktu memindah data dari Samarkand ke Jakarta juga begitu. Oleh karena itu updatingnya mungkin ada dua cara :
    1. Data itu dikembalikan dulu ke Samarkand( atau kota dimana Ulughbek dulu menetapkan markaz hitungan), baru dipindahkan ke Jakarta .Kalau acuan penghitunganya masih tetap magrib setempat , koreksinya ya selisih magrib dua kota tersebut (samarkand dan Jakarta)
    2. Atau yg lebih sederhana, ‘Alamah mu’dalah di koreksi lagi dengan selisih magrib antara Jakarta dengan tempat(kota) yg lintangnya sama dengan Samarkand, sedang bujurnya sama dengan Jakarta .
    Oleh sebab itu diperlukan data pembantgu , yaitu :
    a. Tabel2 asli buatan ulughbek dulu. ( untuk acuan peerbaikan pemindahan data ke Jakarta)
    b. Markaz yang dipergunakan oleh Ulughbek dulu, apa Samarkand, Turki atau kota lain., karena selama ini yang saya ketahui, Ulughibek dinisbatkan dgn Assamraqandi, tapi apa benar beliau menggunakan Samarkand sebagai markaz penelitiannya. Dapat diperbandingkan, Syekh Nawawi al Bantani al Jawi, adalah Ulama Banten, tetapi kegiatannya justru banyak tidak di Banten tetapi di Makkah.
    Demikian predikisi saya yg belum pernah saya coba, mudah para ilmuwan muda dapat mengiolahnya lebih jauh

  5. iqbal berkata:

    assalamu’alaikum..
    tulisan yang bagus,,
    izin copy y,,
    utk bahan kul,,
    terimakasih banyak..

  6. Grinaldi Akbar berkata:

    Ass. Wr. Wb.

    Saran saya kepada pak kyai, buka pembahasan libatkan saudara muslim kita di cakung dan pemerintah jadi ada solusi untuk mencari perbedaan selama ini yang terjadi.

  7. bidin berkata:

    maaf pak kyai…. saya salut dgn koreksi pak kyai pda kitab Sulamunayiroin,tapi yg menjadi pertanyan sya, mengapa banyak pondok2 pesantren khususnya di jawa timur yg tetap berpedoman pada kitab sulamunayiroin.saya menduga kyai2 sepuh yg masih mengunakan kitab sulam mempunyai keyakinan tentang kebenaran kitab tsb,sya jg pernah mendengar katanya kitab itu pada bagian yg lain juga bisa menghisab daun2 yg akan berguguran bahkan juga bisa menghisab orang sakit.Dan tambih (peringatan) pada kitab sulam tentang ketepatan ijtima’ korelasi dengan khusuf,itu mungkin hanya bentuk ketawadhu’an sang Mu’alif…
    demikian dugaan sya,mohon penjelasan Pak kya..
    ,ngapunten,mtur nuwun….

    • LABADIL berkata:

      saya juga punya pengalaman yang mirip dngan bapak bidin. karena saya memang berdomisili di jawa timur (sejak kecil hingga sekarang)
      waktu saya masih kecil yang saya tahu ilmu hisab itu ya sullamun nayirain karena hampir di semua pesantren yang saya tahu materi untuk fan ilmu hisab semua pakai kitab sullamun nayirain.
      Pada jaman dahulu di daerah saya ada seorang alim, namanya simbah kiai Muh (saya kurang tau nama lengkapnya, karena beliau keburu wafat sebelum saya dilahirkan). Dan hampir semua orang percaya atas perhitungan hisab beliau, sehingga hasil perhitungan hisab beliau dijadikan pedoman oleh semua orang untuk penentuan awal puasa maupun lebaran. Sehingga daerah Durenan (tempat tinggal simbah kiai muh) menjadi tolak ukur penentuan awal puasa dan lebaran diseluruh wilayah trenggalek bahkan jauh diluar wilayah trenggalek. Dan kebiasaan mbah yai muh itu kalau idul fitri tidak dirayakan secara besar-besaran, melainkan cukup sholat idul fitri di masjid, lalu makan ambeng (ayam bakar yang diletakkan di atas nasi) bersama-sama dengan seluruh jamaa’h di masjid, lalu pulang. Keeseokan harinya nyawal (puasa bulan syawal) hingga enam hari kedepan. Sedangkan perayaan idul fitri yang sesungguhnya itu berada di hari kedelapan bulan syawwal, yaitu dengan cara membuat ketupat sebanyak-banyaknya, dan setiap orang yang datang disuruh makan ketupat gratis tanpa membayar sepeserpun. Tradisi perayaan hari raya ketupat itu tetap dijaga dan dilestarikan sampai sekarang, walaupun toh sudah sangat jarang orang yang mau melaksanakan puasa bulan syawal.

      Sekedar cerita (dongeng) dari embah saya tentang kehebatan simbah kiai muh, beliau bisa menghisab daun untuk diprediksi kapan jatuh dari tangkanya. suatu ketika simbah kiai muh sedang nderes (membaca al qur’an) di kamarnya. karena terlalu lama nderes, simbah kiai muh istirahat sejenak sambil bermain ilmu hisab, yaitu beliau menghisab torong (kaca pelindung api damar, dan saya yakin pada waktu itu memang belum ada listrik, jadi penerangan memakai damar teplok). dan ternyata hasil hisabnya sangat mengejutkan, bahwa torong itu akan pecah dalam beberapa menit lagi. Karena ingin memastikan hasil hisabnya, beliau terus memandangi torong tadi, menanti detik-detik terakhir kepecahan torong. Pada saat yang sama datanglah seorang tamu hendak sowan simbah kiai muh, karena simbah kiai muh sedang berada dalam kamar, maka yang mempersilahkan tamu tadi adalah istrinya simbah kiai muh. Setelah mempersilahkan tamunya tadi duduk, segeralah sang istri pergi ke kamar untuk memberitahu mbah yai bahwasannya ada tamu yang sedang menunggu diruang tamu. Mbah yai berkata “baik.. suruh tamunya untuk menunggu sebentar”. Maka keluarlah sang istri dari kamar itu. Tapi.. setelah ditunggu sekian lama ternyata mbah yai tak kunjung keluar dari kamarnya.. maka sang istri kembali masuk kamar untuk memberitahu ulang kepada mbah yai. Tetapi lagi-lagi mbah yai minta agar tamu itu menunngu sebentar. Sang istri keluar dari kamar lagi, tetapi mbah yai tetap tidak kunjung keluar dari kamar karena tetap mengawasi torong. Untuk memastikannya mbah yai memegang torong itu, dan dengan tanpa disadarinya sang istri kembali masuk kamar seraya menepuk mbah yai dengan agak keras seraya berkata “wong ditunggu tamu kok malah asyik bermain torong”. Karena setengah kaget hingga membuat torong itu terlepas dan akhirnya jatuh sehingga torong itu menjadi pecah berkeping-keping. Dan saat itu pas sesuai hasil hisab mbah yai baik jam, menit maupun detiknya.

      Mendengar cerita itu saya sempat berfikir “mbah yai tahu saat pecahnya torong.. tapi kok gak tau penyebab pecahnya torong ya..?”. tetapi saya tetap berhusnudzon “sesungguhnya kejadian itu termasuk kejadian luar biasa, bahkan termasuk sesuatu yang sulit untuk dinalar menggunakan logika biasa. Artinya itu bukan murni seratus persen ilmu hisab, melainkan mengandung unsur keajaiban, bahkan menurut saya unsur hisabnya hanya 40 persen, sedang unsur keajaibannya 60 pesen. Keajaiban atau kejadian luar biasa atau boleh dibilang kesaktian yang dimiliki oleh mbah yai muh itu, pada zaman dahulu bukanlah sesuatu hal yang aneh / membuat orang lain merasa ta’jub, karena para kiai dan ulama semasa mbah yai muh itu juga banyak yang sakti. Jadi memiliki kesaktian, kalau jaman dahulu bukanlah suatu hal aneh, karena pada waktu itu banyak orang memiliki kesaktian. Kesaktian yang mereka miliki itu mungkin diperoleh dari berbagai faktor, misalnya karena terlalu sedikitnya dosa yang mereka miliki, atau karena terlalu seringnya mengasah mata bathinnnya disetiap penghujung malam dengan berbagai manajat serta riyadloh lainnya. Karena kebersihan hati dan tajamnya mata bathin itulah maka menghisab itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan tanpa bantuan calculator scientific ataupun Microsoft excel visual basic for application. Ru’yah pun sedemikina juga, tanpa bantuan teleskop tripod atau theodolit, bahkan walaupun hilal sedang berada di ambang visibilitas sekalipun. Sangat berbeda dengan ulama jaman now yang sepanjang malamnya di habiskan untuk waosan al qur’an (WA), walaupun dibekali dengan peralatan yang super canggih sekalipun tetap saja mengalami kesulitan, baik hisab maupun ru’yah.

      Ini hanyalah sekedar perasaan dan pengunek-unek saya untuk berusaha membuka wacana lebih dari sekedar permasalah astronomi semata.

  8. Manshur Alkaf berkata:

    Alaikum salam
    Pak Grinaldi, saya merasa tidak punya kapasitas untuk itu, saya mengharap ada generasi mudai yg melakukan penelitian tentang ini. Bukan karena tawadhu’ tetapi ilmu saya tidak akan mampu melakukan itu.
    Pak Didin, Saya yakin muallif memang tawadhu’ , tetapi apa salahnya kalau kita coba ikuti tanbih beliau itu. Tentang menghitung daun yg rontok, kayanya dari jilid satu sampai tiga tidak ada yg membicarakan tentang itu, Mungkin itu bagian dari rahasia kewalian para ahli falak, yg mengetahui kapan musim gugur dsb.

  9. apakayank berkata:

    Terimakasih, Kiyai. Masalah ini layak dijadikan tema nasional untuk terus didiskusikan sampai tuntas.

  10. upm berkata:

    Assalamu’alaikum wr wb.Kiyai, untuk informasi dimana Ulama bernama Ulugh Beigh meninggal dan dikuburkan ada di http://www-history.mcs.st-and.ac.uk/history/BirthplaceMaps/Soltaniyeh.html Beliau dipuji oleh situs Washington https://depts.washington.edu/silkroad/cities/uz/samarkand/obser.html dan di Inggris http://www-history.mcs.st-and.ac.uk/history/Biographies/Ulugh_Beg.html semoga sumber sumber ini bisa membantu penelitian Kiyai mengkritisi Suamun Nayiron. Terima kasih dengan sharing Kiyai. Jazaakumullaah ‘anil muslimiin

    • Manshur Alkaf berkata:

      terima kasih atas perhatian Bpak UPM,saya akan mencoba membacanya, tetapi yang paling utama adalah kordinatdari tempat penelitian dilakukan sebagai markaz penghitungan, yang saya duga adalah kota Samarkand, Sementara ini kordinat kota samarkand sudah saya ketahui kordinatnya, tetapi kalau kita bisa baca sejarah beliau mungkin ada informasi ttg tempat2 yang dihunakan oleh beliau untuk melakukan penelitian.

  11. upm berkata:

    tambahan. sumber-sumber sekitar riset Uugh Beigh dapat dijumpai puluhan, ada di https://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/alsufi/alsufi_studies.htm cari ke bawah nanti ada judul The Star Catalogue in Ulugh Bēg’s Zīj-i-Ṣultānī

  12. assalamu alaikum pak manshur salam kenal dari saya dan saya kagum sekali dengan tulisan ini, tapi apakah untuk hisab gerhana kitab sullamun nayyirain masih relevan pak?? ijin copas pak untuk bahan kajian di rumah.wassalam

  13. Aditya Eko berkata:

    Luar biasa.
    berarti pak kiyai meragukan ilmu guru mansyur

    • luthfiharis berkata:

      Saya kira sebuah karya, baik karya tulis maupun pendapat, sangat potensial untuk dikaji kembali. Jangan sampai putus tradisi keilmuan.

      Kagem Pak Yai, mugi sehat selalu dan panjang umur. Sungkem

Tinggalkan komentar